Jumat, 22 April 2016

Hak Paten Perusahaan KIA dan Hyundai



Hak Paten Perusahaan KIA dan Hyundai
Produsen raksasa mobil Korea Selatan itu melalui produknya Hyundai Sonata dan Kia Optima dituding telah menggunakan teknologi hibrida serupa dan gugutan sudah diajukan Kamis (16/2/2012) di pengadilan federal Baltimore. Paice terus berusaha menjegal Hyundai dan KIA untuk tidak memproduksi hibrida kecuali mau diselesaikan dengan jalan membayar lisensi tersebut. Dalam keterangan yang dikutip caradvice hari ini (20/2/2012) menyebutkan, “Di awal 2004 kami telah menghubungi Hyundai untuk mendiskusikan dan menawarkan teknologi hybrid ini.” Karena tidak ada kelanjutan kerjasama namun secara tiba – tiba teknologi tersebut muncul di salah satu produknya, Paice menganggap pengadilan adalah solusinya. Sebelumnya, Paice  pernah menuntut Toyota pada 2010 karena juga memakai sistem hibrida yang sudah dipatenkan sejak 1994. Setelah berjibaku selama setahun, akhirnya kedua perusahaan menyelesaikan kemelut tersebut di luar pengadilan, dan Toyota pun terus memproduksi kendaraan hybrid.  Ford pun sempat bersitegang, namun tidak sampai ke meja hijau karena menyetujui penggunaan lisensi teknologi Paice.
Menurut saya seharusnya sengketa pelanggaran teknologi hybrid yang di langgar oleh perusahaan mobil KIA dan HYUNDAI ini ditangani oleh pengadilan kemudian pengadilan memutuskan hukumannya sesuai dengan UU nomor 14 tahun 2001 pasal 131-135 yang berupa hukuman penjara selama 4 tahun dan denda maksimal 500 juta atau produksi mobil dihentikan. Studi kasus yang diambil kelompok 3 sangatlah menarik karena pada jaman ini teknologi berkembang sangat pesat dan ada juga pelanggaran-pelanggaran yang dibuat. 
Semoga kedepannya tidak terjadi pelanggaran hak paten khususnya bidang industri, dan sebaiknya pencipta suatu teknologi wajib mematenkan hasil karyanya agar tidak terjadi permasalahan yang menyebabkan merugi dan menurunkan image dari perusahaan yang bersangkutan.

sumber: http://sorelya.blogspot.co.id/2012/05/hak-paten-studi-kasus-pelanggaran-hak.html

Hak Paten Mesin Motor Bajaj Ditolak di Indonesia


Hak Paten Mesin Motor Bajaj Ditolak di Indonesia
Motor Bajaj merupakan salah satu produk sepeda motor yang dikenal di kalangan masyarakat Indonesia, bahkan desain yang dihasilkan menarik dan terlihat elegan. Namun, tidak disangka hak paten teknologi mesin motor kebanggaan masyarakat India ini menjadi masalah di Indonesia.
Bajaj Auto Limited sebagai produsen motor Bajaj menggugat Ditjen Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM). Sebab, permohonan paten untuk sistem mesin pembakaran dalam dengan prinsip empat langkah ditolak dengan alasan sudah dipatenkan terlebih dahulu oleh Honda Giken Kogyo Kabushiki Kaisha.
Kuasa hukum perusahaan Bajaj pun meminta agar hakim pengadilan membatalkan atas penolakan permohonan terhadap kasus tersebut. Kasus tersebut bermula ketika Ditjen Haki menolak permohonan pendaftaran paten Bajaj pada 30 Desember 2009 dengan alasan ketidakbaruan dan tidak mengandung langkah inventif. Atas penolakan tersebut, Bajaj Auto mengajukan banding ke Komisi Banding Paten. Namun Komisi Banding dalam putusannya pada 27 Desember 2010 sependapat dengan Direktorat Paten sehingga kembali menolak pendaftaran paten tersebut. Hal tersebut dikarenakan prinsip motor Bajaj merupakan prinsip yang masih baru berkembang.
Kesaksian dalam sidang tersebut, satu silinder jelas berbeda dengan dua silinder. Untuk konfigurasi busi tidak menutup kemungkinan ada klaim yang baru terutama dalam silinder dengan karakter lain. Namun, kebaruannya adalah ukuran ruang yang kecil. Dimana harus ada busi dengan jumlah yang sama. Keunggulan dari Bajaj ini adalah bensin yang irit dan memiliki emisi yang ramah lingkungan.
Ditjen HAKI punya catatan tersendiri sehingga menolak permohonan paten ini, yaitu sistem ini telah dipatenkan di Amerika Serikat atas nama Honda Giken Kogyo Kabushiki Kaisha dengan penemu Minoru Matsuda pada 1985. Lantas oleh Honda didaftarkan di Indonesia pada 28 April 2006. Namun dalih ini dimentahkan oleh Bajaj, karena telah mendapatkan hak paten sebelumnya dari produsen negara aslanya, yaitu India.

Dari kasus diatas dapat dianalisa bahwa perusahaan Bajaj dimungkinkan kurang jeli dalam masalah penggunaan mesin yang aman digunakan untuk konsumen. Walaupun kenyataannya menurut perusahaan Bajaj tersebut menolak atas tuntutan yang diajukan oleh Ditjen HAKI. Sebaiknya jika terbukti bersalah sebaiknya sesegera mungkin diberi solusi untuk perbaikan mesin tersebut agar tidak terjadi masalah seperti pencabutan penjualan dan lainnya. Namun jika pernyataan berbanding terbalik dari tuduhan awal, sebaiknya perusahaan tersebut menunjukkan bukti fisik yang kuat dan tidak berdiam untuk enggan berkomentar, karena pada asalnya dari negara produsen awal tidak terjadi masalah pada pemesinan tersebut.
Semoga kedepannya tidak terjadi pelanggaran hak paten khususnya bidang industri, dan sebaiknya pencipta suatu teknologi wajib mematenkan hasil karyanya agar tidak terjadi permasalahan yang menyebabkan merugi dan menurunkan image dari perusahaan yang bersangkutan.
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. (UU 14 tahun 2001, pasal. 1, ayat. 1).

Sumber : http://andiefendi05.blogspot.co.id/2013/06/hak-paten.html

Rabu, 20 April 2016

“Ya Ya Ya” milik grup band GIGI digunakan sebagai theme song dalam film horor komedi “Toilet 105” tanpa meminta izin



“Ya Ya Ya” milik grup band GIGI digunakan sebagai theme song dalam film horor komedi “Toilet 105” tanpa meminta izin
Pelanggaran hak cipta yang diambil dari situs resmi KOMPAS.com, Pelanggaran hak cipta kembali terjadi. Kali ini single lagu “Ya Ya Ya” milik grup band GIGI digunakan sebagai theme song dalam film horor komedi Toilet 105 tanpa meminta izin. “Kebetulan saya sudah melihat sendiri kalau di film itu ada karya GIGI yang dipakai di scene pertama,” ujar pimpinan Pos Manajemen GIGI, Dani Pete, saat ditemui di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Senin (1/2/2010).
Dani mengaku kecewa begitu mengetahui film garapan rumah produksi Multivision tersebut yang memakai single “Ya Ya Ya” tanpa izin. “Saya dari label menyatakan kalau lagu tersebut dipakai tanpa izin,” tegasnya. Tak hanya Dani yang mengaku kecewa. Grup band yang digawangi Armand (vokal), Dewa Budjana (gitar), Thomas Ramadhan (bas), dan Hendy (drum) juga ikut menyayangkan hal tersebut. “Mereka menyesalkan saja ini bisa terjadi. Tadinya konflik itu ada di kami karena awalnya dikira saya yang mengizinkan. Padahal setiap penggunaan lagu, saya sangat hati-hati dan saya kembalikan ke mereka (GIGI) karena mereka yang punya karya,” ujar Dani. Karena itu, tanpa membuang waktu, Pos Manajemen GIGI langsung menunjuk kuasa hukum untuk menyelesaikan kasus tersebut. “Kami dari manajemen menguasakan penuh kepada Mada R Mardanus, SH, untuk masalah itu,” imbuh Dani. Dani berharap, kuasa hukum mereka bisa menempuh jalur hukum yang semestinya. “Saya belum mengetahui aturannya, tapi saya bilang ke Mada untuk menyelesaikannya sesuai dengan aturan yang ada tanpa mengada-ada,” ungkapnya. 
Lagu “ya..ya..ya..” yang diciptakan serta di populerkan oleh band  “GIGI”  merupakan sebuah karya seni dalam sebuah lagu yang telah memiliki hak cipta (Pasal 12 ayat 1, UUHC Tahun 2002). Pemegang hak cipta lagu tersebut pastilah di pegang oleh “GIGI” beserta management nya yang telah di beri hak cipta oleh si pencipta lagu (sesuai dengan UUHC tahun 2002, Pasal 1).
Film “Toilet 105” jelas telah melanggar hak cipta,karena menggunakan lagu “ya..ya..ya..” secara komersial sebagai theme song tanpa izin penggunaan dari pemegang hak cipta.
2.         Tanggapan
Hal tersebut hendaknya selaku pihak multivision harus lah meminta maaf kepada pihak management GIGI ,serta mengurus izin penggunaan lagu tersebut kepada pemegang hak cipta. Jika tidak ada niat baik dari pihak multivision, pastilah pihak GIGI melalui label rekaman nya akan menuntut hukuman pidana,sesuai dengan undang- undang yang berlaku, Seperti dibawah ini :
Peraturan hak cipta di Indonesia salah satunya terdapat dalam undang-undang  pasal 12 ayat 1 yang berbunyi ”Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: bukuprogram komputerpamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, ceramahkuliah,pidato, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan,lagu atau musik dengan atau tanpa teks, dramadrama musikaltarikoreografi,pewayanganpantomimseni rupa dalam segala bentuk (seperti seni lukisgambarseni ukir, seni kaligrafiseni pahatseni patungkolase, dan seni terapan), arsitekturpeta, senibatik (dan karya tradisional lainnya seperti seni songket dan seni ikat), fotografi,sinematografi, dan tidak termasuk desain industri (yang dilindungi sebagai kekayaan intelektual tersendiri). Ciptaan hasil pengalihwujudan seperti terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai (misalnya buku yang berisi kumpulan karya tulis, himpunan lagu yang direkam dalam satu media, serta komposisi berbagai karya tari pilihan), dan databasedilindungi sebagai ciptaan tersendiri tanpa mengurangi hak cipta atas ciptaan asli (UU 19/2002 pasal 12).
Sanksi pidana atas pelanggaran hak cipta di Indonesia secara umum diancam hukumanpenjara paling singkat satu bulan dan paling lama tujuh tahun yang dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling sedikit satu juta rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah, sementara ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh Negara untuk dimusnahkan (UU 19/2002 bab XIII).
            Perihal saling mengakui hasil karya, sebenarnya telah terlampir jelas dalam isi Undang-Undang Hak cipta pada beberapa pasal berikut ini :
1.         Pasal 1 ayat 1, berbunyi  ”Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
2.         Pasal 2 ayat 2, berbunyi ”Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial”.
3.         Referensi

Pelanggaran Hak Cipta Cap Jempol Pada Produk TCL



Pelanggaran Hak Cipta Cap Jempol Pada Produk TCL


Tanda cap jempol pada kemasan elektronik asal China bermerek TCL menuai konflik. Cap tersebut diklaim sebagai ciptaan Junaide Sungkono, mantan Direktur PT TCL Indonesia -distributor produk TCL sejak 2003-2008. Di sisi lain, distributor dan perakit produk TCL lain, PT Arisa Mandiri Pratama menggunakan tanda cap jempol itu dalam kemasan mesin cuci merek TCL dengan judul garansi.

Junaide pun meradang hingga akhirnya melayangkan gugatan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Hanya, gugatan langsung dilayangkan ke Direktur Utama PT Arisa, Nurtjahja Tanudisastro. Majelis hakim yang diketuai Ennid Hasanuddin menggelar persidangan lanjutan perkara ini.

Sebelumnya, dalam gugatan kuasa hukum Junaide dari YBS & Partner menuntut ganti rugi atas pemakaian cap jempol Rp12 miliar plus pembayaran royalti dengan jumlah yang sama. Dalam gugatan diuraikan gambar jempol diciptakan Junaide untuk meningkatkan kepercayaan pada produk China. Setelah keluar dari PT TCL, pada 2008 Junaide memproduksi DVD dan TV bermerek Divega yang juga menggunakan cap jempol sebagai garansi.
read more

Dari berkas jawaban, kuasa hukum PT Arista dari AFS Partnership, menyatakan gugatan salah alamat. Seharusnya, gugatan tidak dilayangkan pada Nurtjahja secara pribadi. Sebab, PT Arista ditunjuk oleh TCL Overseas Marketing Ltd (TCL China) – pemegang lisensi produk TCL di dunia – untuk memasarkan dan merakit produk TCL di Indonesia. Dengan begitu, yang memiliki hubungan hukum adalah PT Arista selaku badan hukum. Bukan Nurtjahja dalam kapasitas pribadi.

Gugatan juga dinilai prematur. Pasalnya, saat ini PT TCL sendiri tengah menggugat pembatalan ciptaan atas surat pendaftaran ciptaan No. 043944 pada 11 September 2009 atas nama Junaide. Gugatan yang teregister No. 40/HakCIpta/2010/PN.NIAGA.JKT.PST ini didaftarkan 11 Mei 2010.

Bukan Pencipta
Tanda cap jempol itu bukan diciptakan penggugat, melainkan tim marketing PT TCL Indonesia pada 2003. Tanda itu kemudian dipakai secara terus menerus sehubungan dengan pemasaran produk elektronik merek TCL. Logo itu diciptakan sebagai simbol garansi dalam rangka program pembentukan image. Tanda cap jempol itu dicirikan dengan warna dasar lingkaran merah sebagai simbol memperkuat image keyakinan atas produk TCL.

Hak cipta cap jempol itu melekat pada perusahaan. Sesuai Pasal 8 ayat (3) UU No. 19/2002 tentang Hak Cipta, ciptaan yang dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, maka pihak pembuat dianggap sebagai pencipta dan pemegang hak cipta, kecuali diperjanjikan lain. Sejak 2003 hingga kini, pengumuman cap jempol itu tak pernah menyebutkan nama anggota tim marketing PT TCL.

Tim marketing PT TCL sendiri membuat pernyataan yang mengakui cap jempol itu diciptakan untuk TCL. Dengan begitu, PT TCL merupakan pencipta dan pemegang hak cipta, meskipun perusahaan tersebut tidak pernah mendaftarkan cap jempol itu sebagai ciptaannya.

Menurut kuasa hukum PT Arista, pendaftaran hak cipta tidak semerta seseorang dapat mengklaim sebagai pencipta. Hak cipta tidak timbul karena pendaftaran seperti halnya merek.                                              

Pendaftaran hak cipta cap jempol atas nama Junaide dinilai dilandasi itikad buruk. Junaide adalah mantan direktur dan pemegang saham PT TCL sejak perusahaan berdiri hingga 22 Agustus 2008. Setelah keluar dari PT TCL, Junaide mendaftarkan hak cipta cap jempol atas namanya sendiri.

Apalagi somasi penghentian penggunaan cap jempol baru dilayangkan pada 30 Maret 2010, jauh setelah logo tersebut pertama kali diumumkan PT TCL. Hanya, somasi dilayangkan pada distributor TCL China PT Arisa bukan ke PT TCL Indonesia.


PT Arisa selaku distributor tidak boleh memodifikasi produk dan kemasan produk TCL. Salah satunya, penggunaan tanda cap jempol pada kemasan. Hal itu sesuai dengan Exclusive Agreement antara TCL China dan PT Arisa pada 1 Januari 2010. Dengan demikian penggunaan tanda cap jempol tidak melanggar hak cipta. Karena itu, tuntutan ganti rugi Junaide dinilai mengada-ada.
Download Hasil Putusan Mahkamah Agung disini