MUSEUM
KEBANGKITAN NASIONAL
1. Sejarah Gedung Museum Kebangkitan
Nasional
1.1 Sebelum Proklamasi
Museum Kebangkitan Nasional berada pada sebuah komplek
bangunan bersejarah peninggalan kolonial Belanda. Gedung nan megah menempati
areal yang cukup luas dengan fungsinya pun berbeda-beda pada kurun waktu sesuai dengan
pemerintahan yang berkuasa pada masanya mulai dari masa pemerintahan Hindia
Belanda hingga sekarang.
Gedung tersebut dibangun pada tahun 1899, awal
keberadaannya pada masa pemerintahan Hindia Belanda dipergunakan sebagai
pendidikan Sekolah Dokter Djawa dan sekolah kedokteran bumiputera atau yang
lebih dikenal dengan sebutan STOVIA (School
Tot Opleding Van Inlandsche Artsen) yang secara resmi dibuka pada tahun
1902 juga terdapat asrama didalamnya untuk para pelajar yang berasal dari
berbagai daerah di Nusantara dan diharuskan mengikuti selama 10 tahun. Dengan
semakin berkembangnya sekolah kedokteran ini sehingga tempatnya
pun sudah tidak memadai, maka pada tahun 1920 dipindah
kejalan Salemba (sekarang menjadi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), sedang bangunan STOVIA yang lama
dipergunakan untuk asrama dan sekolah pendidikan lainnya seperti Sekolah
Asisten Apotiker, MULO (setingkat SMP) dan AMS ( setingkat SMA). Dengan
masuknya bala tentara Jepang ke Indonesia pada tahun 1942, mengakhiri
pembangunan
Gedung STOVIA sebagai tempat kegiatan pembelajaran.
Pada tahun 1942-1945 saat pemerintahan Jepang bekuasa
memfungsikan gedung Eks-STOVIA ini sebagai tempat penampungan tawanan perang
tentara-tentara Belanda.
1.2 Setelah Proklamasi
Pada masa proklamasi kemerdekaan indonesia 1945
sampai 1973,gedung Eks-STOVIA dimanfaatkan sebagai tempat hunian bagi bekas
tentara KNIL Belanda yang berasal dari Ambon beserta keluarganya. Gedung
STOVIA menjadi salah satu tempat
istimewa dalam sejarah perjalanan negeri ini,
karena menjadi saksi lahirnya organisasi-organisasi pergerakan
kebangsaan yaitu Boedi Oetomo, Trikoro Dharmo (Jong Java), Jong minahasa dan
Jong Ambon dan lain-lain. Di gedung ini juga beberapa tokoh pergerakan seperti
Ki Hadjar Dewanrata, Tjipto Mangoenkoesoemo, R. Soetomo dan masih banyak
tokoh-tokoh lainnya pernah menimba ilmu.
Mengingat peristiwa-peristiwa sejarah penting pernah
terjadi di gedung ini, maka ada upaya untuk melestarikan gedung ini sebagai
gedung bersejarah. Pada tahun 1973 Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta
melakukan pemugaran bangunan secara keseluruhan. Bangunan gedung Eks-STOVIA
yang sudah beralih fungsi sebagai hunian tempat tinggal, dikembalikan
kondisinya seperti pada saat menjadi sekolah dokter bumiputera. Sedangkan
masyarakat atau keluarga Ambon yang sempat menghuni gedung ini dipindahkan dan
ditampung dikompleks perumahan di daerah Cengkareng Jakarta Barat.
Kegiatan pemugaran dan renovasi gedung Eks-STOVIA
oleh pemerintah daerah provinsi DKI Jakarta selesai dalam waktu satu tahun.
Pada 20 Mei 1974 presiden Soeharto meresmikan penggunaan Gedung Eks-STOVIA
sebagai gedung bersejarah yang diberi nama “Gedung Kebangkitan Nasional” yang selanjutnya pengelolaan
dilaksanakan oleh pemerintahan Daerah provinsi DKI Jakarta.
Sejak
diresmikannya Gedung kebangkitan Nasional, didalamnya deselanggarakan beberapa
museum yaitu Museum Pers, Museum Wanita Dan Museum Boedi Oetomo. Juga
dimanfaatkan untuk perkantoran-perkantoran swasta atau yayasan, antara lain oleh kantor Yayasan
Pembela tanah Air (YAPETA), Perpustakaan Yayasan Idayu, Yayasan Perintis
Kemerdekaan dan Lembaga Perpustakaan Dokumentasi Indonesia.
Karena di dalam Gedung Kebangkitan
Nasional ini pernah terjadi peristiwa sejarah yang sangat penting bagi
perjuangan bangsa Indonesia, mendorong Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta
pada 27 September 1982 mengalihkan pengelolaan gedung ini ke pemerintah Pusat
yaitu melalui Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kondisi Gedung Kebangkitan
Nasional yang kokoh dengan usianya yang cukup lama serta memiliki nilai sejarah
dan nilai aristik,maka pada 12 Desember 1983 Pemerintah menetapkan gedung ini
sebagai Benda Cagar Budaya. Penetapan ini membawa konsekuensi gedung ini harus
tetap dilestarikan, dipelihara, dan tidak boleh dirombak.
Pada
17 Februari 1984 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Keputusan
Menteri Pendidiikan dan Kebudayaan Nomor 03/0/1984 tentang Struktur organisasi
dan tata kerja penyelenggaraan museum di dalam Gedung Kebagkitan Nasional
dengan nama Museum Kebangkitan Nasional.
Guna memfungsikan gedung Kebangkitan
Nasional sebagai museum, maka museum-museum yang ada yaitu Museum Boedi Oetomo,
Museum Kesehatan, Museum Pers dan museum Wanita dilebur menjadi Museum Kebangkitan
Nasional. Dalam Pengembangan selanjutnya kantor-kantor swasta yang terdapat di
dalam gedung dipindah ke luar gedung, dan ruangan perkantoran yang sudah kosong
tersebut dipergunakan untuk pengembangan pameran tetap museum.
Sehubungan dengan adanya transisi
organisasi dibidang kebudayaan, pada 13 Desember 2001 kemudian menjadi
Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata sehingga berpengaruh terhadap unit di
bawahnya termasuk UPT Museum Kebangkitan Nasional. Dengan demikian Museum
Kebangkitan Nasional merupakan Unit
Pelaksana Teknik dari Kementrian,Kebudayaan,dan pariwisata di bawah Direktorat
Jenderal Sejarah Dan Purbakala yang teknis pembinaannya berada dibawah
Direktorat Museum, hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata Nomor:P.32/OT.001/MKP-2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Museum
Kebangkitan Nasional.
1.3 Awal Berdirinya Pendidikan Kedokteran
Keberadaan Museum Kebangkitan Nasional
tidak dapat dilepaskan dari awal keberadaan
pendidikan kedokteran di Indonesia. Awal berdirinya pendidikan
kedokteran tersebut ada kaitannya dengan tersebarnya wabah penyakit menular
pada 1847 di daerah Banyumas dan Purwokerto. Wabah penyakit tersebut seperti
tipes, kolera, disentri dan lain-lain tidak dapat dibrantas oleh tenaga medis yang
ada masa pemerintahan Hindia Belanda yang jumlahnya sangat terbatas, begitu
juga dengan cara pengobatan yang telah ada pada waktu itu dengan cara
tradisional, sehingga ada usul dari Kepala Jawatan Kesehatan yaitu Dr. W. Bosch untuk mendidik beberapa anak
Bumiputera menjadi pembantu dokter Belanda. Pada 1849 keluar keputusan
Gubernemen yang menetapkan bahwa dirumah sakit militer akan dididik 30 pemuda
Jawa dari keluarga baik-baik serta pandai menulis dan membaca bahasa Melayu dan
Jawa untuk menjadi dokter pribumi dan “vaccinateur” (menteri cacar). Selesai
pendidikan mereka harus bersedia masuk dinas pemerintahan sebagai menteri
cacar.
Bulan Januari 1851 berdirilah Sekolah Dokter Jawa di
Rumah Sakit Militer Weltevreden dengan masa pendidikan 2 tahun. Pendidikan
diikuti 12 orang yang semuanya Berasal dari Pulau Jawa. Menteri pelajaran
meliputi cara mencacar dan memberikan pertololongan pada penderita sakit panas
dan sakit perut. Bahasa pengantar menggunakan bahasa Belanda.
Pada
5 Juni 1853 Sekolah Dokter Jawa meluluskan 11 pelajar dan menyandang gelar
Dokter Jawa. Mereka dipekerjakan sebagai menteri cacar, diperbantukan di Rumah
Sakit dan membantu dokter militer merangkap dokter sipil.
Sejak tahun 1856 Sekolah Dokter Jawa mulai menerima
murid yang berasal dari luar Pulau Jawa, yaitu
dari Minangkabau (Sumatera) 2 orantg dan Minahasa (Sulawesi) 2 orang.
Tahun 1864 lama pendidikan Sekolah Dokter Jawa ditingkatkan dari 2 tahun
menjadi 3 tahun dengan jumlah siswa dibatasi 50 orang. Perubahan ini bertujuan
untuk meningkatkan kualitas para dokter sehingga mampu bekerja sendiri dibawah
pengawasan dokter Belanda dan Kepala Pemerintahan Daerah. Namun pengabdian para
dokter lulusan Sekolah Dokter Jawa di masyarakat mendapatkan penolakan dari
beberapa dokter Belanda, sehingga sejak tahun 1864 pemerintah kolonial mencabut
wewenang praktek dokternya, dan memperkerjakan mereka sebagai mantri cacar.
Perubahan besar terjadi pada tahun 1875 karena lama pendidikannya ditingkatkan
menjadi 7 tahun, dengan jumlah murid 100 orang.
1.4 Berdirinya STOVIA
Tahun 1899 atas usul Dr. H.F Roll dibangun gedung baru. Pembangunan
gedung ini mendapatkan bantuan dari 3 orang pengusaha Belanda dari Deli yaitu,
P.W Janssen, J. Nienhuys dan H.C van den Honert. Bulan September 1901 di Betawi
muncul wabah penyakit beri-beri dan kolera dan juga menimpa para pelajar
Sekolah Dokter Jawa, sehingga pemindahan pelajar dari rumah sakit militer
Weltevreden ke gedung baru di Hospitaalweg tertunda.
Pada 1 Maret 1902 gedung baru
tersebut mulai resmi digunakan untuk STOVIA (School Tot Opleiding Van Indlandsche Artsen) yaitu Sekolah
Kedokteran untuk Bumiputera. Munculnya STOVIA menandai berakhirnya Sekolah
Dokter Jawa. Selama menjalani pendidikan, pelajar STOVIA diharuskan tinggal
didalam asrama yang menerapkan sikap disiplin dan tanggung jawab yang ketat.
Jadwal kegiatan sudah ditentukan dari pagi sampai malam hari, bagi mereka yang
melanggar ketentuan akan mendapatkan hukuman sesuai dengasn kesalahan yang
diperbuatnya. Pelajar yang masuk ke STOVIA diwajibkan membuat surat perjanjian
(acte van verband). Isi surat
tersebut akan mengikat lulusan STOVIA untuk bekerja pada dinas pemerintah
selama 10 tahun berturut-turut, dimana tenaganya diperlukan. Kalau tidak, ia
bersama orang tua atau walinya akan mengembalikan biaya pendidkan selam 9 tahun
pada pemerintah. Namun, pada perjanjian tersebut merisaukan dan memberatkan
pelajar-pelajar masih melangsungkan pendidkannya sehingga diantara mereka
banyak yang berhenti dan sekolahpun kekurangan murid, sehingga surat perjanjian
tersebut ditinjau kembali dan akhirnya ketentuan itu hanya diberlakukan pada
pelajar yang baru diterima. Setelah itu proses pendidikan pun berlangsung
normal kembali. Pada 1909 STOVIA berhasil meluluskan muridnya, buat mereka yang
mengakhiri pendidikan dengan baik di STOVIA tidak lagi bergelar dokter jawa
melainkan Inlandsche Arts (Dokter Bumiputera). Mereka berwenang memperaktekan
ilmu kedokteran seluruhnya termasuk kebidanan. Jumlah pelajar STOVIA terus
bertambah dan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman, maka perlu dibangun
gedung baru sebagai tempat pendidikan dan praktek pelajar STOVIA. Tahun 1919
berdiri rumah sakit Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting di Salemba yang
dipimpin oleh Dr. Hulskoff. Dirumah sakt inilah dijadikan sebagai tempat
praktek pelajar STOVIA karena sarana dan prasaranannya lebih lengkap dan
modern.
Pada
5 Juli 1920 secara resmi seluruh kegiatan pendidikan STOVIA dipindahkan ke
jalan Salemba yang sampai sekarang dikenal dengan “Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia’’. Sedangkan STOVIA lama dipergunakan untuk asrama
pelajar. Pada 1925 gedung STOVIA lama tidak lagi dimanfaatkan untuk kegiatan
pembelajaran Sekolah Kedokteran Bumiputra, tapi menjadi tempat pendidikan untuk MULO (setingkat SMP), AMS
(setingkat SMA) dan sekolah Apoteker. Dan Masuknya bala tentara Jepang pada
tahun 1942 mengakhiri penggunaan Gedung STOVIA sebagai tempat kegiatan belajar
mengajar.
2. Kunjungan ke Museum Kebangkitan
Nasional
-Rabu,
22 April 2015-
Kelompok
4 melakukan kunjungan ke tempat situs sejarah yaitu Museum Kebangkitan Nasional
pada hari Rabu, 22 April 2015. Kelompok 4 terdiri dari Agung Satria Arfana,
Encep Suhendar, Ines Adi Putra, Rizki Nuzul, Royman Simarangkir, Siti Hartinah,
dan Tia Febrita. Museum Kebangkitan Nasional berlokasi di pusat perkotaan dan
letaknya strategis, berdekatan denga Atrium Senen Mall, Terminal dan Stasiun
Senen, Tugu Tani, Monumen Nasional dan lain-lain tepatnya berlokasi di Jalan
Dr. Abdul Rahman Saleh No. 26 Jakarta Pusat dengan lintasan jalan protokol arah
selatan jalan Kwitang dan arah timur jalan Senen Raya. Untuk menuju ke lokasi
Museum Kebangkitan Nasional, kami menggunakan KRL Commuter Line. Kami berangkat pukul 12.05 dari stasiun Pondok Cina
lalu naik KRL Commuter Line jurusan
Jakarta Kota dan turun di stasiun Cikini. Perjalanan menuju stasiun Cikini
hanya memakan waktu sekitar 30 menit dan Kami tiba di stasiun Cikini sekitar
pukul 12.35 WIB. Ongkos yang diperlukan untuk satu kali perjalanan kereta
sebesar Rp 2.000.
Setibanya
di stasiun Cikini, kami harus menyambung metro mini P17 dan turun di dekat
halte busway Senen lalu jalan kaki
sekitar 300 meter arah Atrium Senen Mall. Ongkos yang diperlukan untuk satu
kali perjalanan dengan menggunakan metro mini sebesar Rp 4.000 dan total waktu
yang diperlukan untuk tiba di Museum Kebangkitan Nasional sekitar 1 jam.
-Pukul
13.00 WIB-
Kami
tiba di Museum Kebangkitan Nasional pukul 13.00 WIB. Museum Kebangkitan
Nasional dijaga oleh dua orang penjaga yang berjaga di dekat pintu masuk. Museum
ini buka setiap hari kecuali hari senin dan hari besar, dari pukul 08.30 –
15.00 kecuali pada weekend, museum
ini tutup pukul 14.00 WIB.
Kami
harus membeli tiket terlebih dahulu sebelum berkeliling di Museum Kebangkitan
Nasional. Harga tiketnya sebesar Rp 2.000 sudah termasuk buku panduan dan bollpoint. Berikut ini adalah tiket dan
maket Museum Kebangkitan Nasional :
Museum
Kebangkitan Nasional mempunyai beberapa ruangan pameran tetap yang disusun secara kronologis berdasarkan periodesasi dan
tematik sehingga memudahkan kami dalam memahami makna dan pesan dari koleksi
yang dipamerkan. Ruangan-ruangan tersebut terbagi menjadi ruang pengenalan,
ruang sebelum pergerakan nasional, ruang awal kesadaran nasional, ruang
pergerakan nasional, dan ruang-ruang tematik seperti ruang pendidikan STOVIA,
ruang dosen STOVIA, ruang peragaan kelas STOVIA, dan ruang peragaan kelas
Kartini. Kami tidak memasuki semua ruangan di atas karena keterbatasan waktu.
Selain itu, museum ini juga dilengkapi oleh taman yang bersih dan terawat serta
kantin yang menjual berbagai makanan dan souvenir.
Kami
berkeliling mulai dari ruangan pengenalan, yaitu ruangan yang menggambarkan
perjalanan sejarah bangsa Indonesia dari masa kedatangan Eropa, munculnya
perlawanan lokal, masa pergerakan bangsa Indonesia sampai dengan tercapainya
perjuangan bangsa pada tanggal 17 Agustus 1945. Selanjutnya adalah ruang
sebelum pergerakan nasional, yaitu ruangan yang menampilkan koleksi lukisan
dari penderitaan akibat kolonialisme dan perjuangan rakyat dalam melawan
kolonialisme. Setelah itu, dilanjutkan dengan mengelilingi ruang awal kesadaran
nasional, yaitu ruangan yang menampilkan penjelasan tentang penerapan politik
etis di Indonesia oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dan perjuangan bangsa
Indonesia untuk membebaskan diri dari penjajahan yang dimulai dengan propaganda
tentang pentingnya pendidikan sebagai sarana untuk merubah nasib diri dan
bangsanya. Tokoh yang mendukung aksi tersebut adalah Wahidin Sudirohusodo,
seorang lulusan dokter jawa dan juga pensiunan guru yang melakukan langkah
nyata dengan mengelilingi Pulau Jawa dalam rangka menyosialisasikan
studiefonds, yaitu dana belajar yang diperuntukan bagi pelajar yang kurang
mampu. Berikut ini merupakan foto-foto yang kami ambil di dalam ruang
pengenalan, ruang sebelum pergerakan nasional, dan ruang awal kesadaran
nasional.
Selanjutnya
Kami mengelilingi ruang pergerakan nasional, yaitu ruangan yang menampilkan
penjelasan dari lahirnya Organisasi Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 di
STOVIA, yang merupakan titik awal pergerakan nasional. Organisasi Boedi Oetomo
menjadi inspirator dan inisiator bagi organisasi-organisasi pergerakan nasional
lainnya. Organisasi-organisasi pada masa pergerakan berjuang dalam berbagai
bidang yang berbeda tetapi saling melengkapi. Organisasi Boedi Oetomo berjuang
dalam lapangan sosial, budaya dan pendidikan, Sarekat Dagang Islam berjuang
dalam mengembangkan ekonomi rakyat sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi
ekonomi asing, Indische Partij berjuang dalam kancah politik, Indische
Vereeninging berjuang di luar negeri dalam bidang pendidikan dan politik, serta
Muhammadiyah yang berjuang dalam bidang pendidikan, sosial, dan kesehatan. Posisi
Boedi Oetomo sebagai perintis Kebangkitan Nasional mendorong pemerintah
menjadikan hari lahirnya pada tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional
yang diperingati sejak tahun 1948. Ruangan ini memiliki patung tokoh-tokoh
Organisasi Boedi Oetomo, seperti Soetomo di dalamnya. Berikut merupakan
foto-foto yang kami ambil dalam ruang pergerakan nasional.
Ruangan
yang Kami kunjungi selanjutnya adalah ruang-ruang tematik. Ruang tematik adalah
suatu ruangan yang menggambarkan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di
gedung ini. Ruang tematik terdiri dari ruang pendidikan STOVIA, yaitu ruangan
yang menampilkan informasi tentang perkembangan pendidikan kedokteran di
Indonesia, mulai dari yang melatar belakangi munculnya pendidikan kedokteran
hingga perkembangannya sampai sekitar Proklamasi Kemerdekaan; ruang dosen
STOVIA, yaitu ruangan yang menampilkan diorama suasana diskusi dosen-dosen
STOVIA dalam membahas Soetomo dan pelajar STOVIA lainnya yang mendirikan
organisasi Boedi Oetomo; ruang peragaan kelas STOVIA, yaitu ruangan yang
menampilkan proses kegiatan belajar mengajar pada masa STOVIA yang
divisualisasikan secara utuh untuk menggambarkan suasana pada saat itu; dan
ruang peragaan kelas Kartini, yaitu ruangan yang menampilkan diorama kelas
Kartini yang menggambarkan perjuangan Kartini dalam memberikan pendidikan
kepada kaum hawa. Sayangnya, tidak semua ruang tematik dapat kami kunjungi
karena keterbatasan waktu dan ada sebagian ruang tematik yang hanya dibuka pada
hari tertentu. Berikut merupakan foto-foto yang kami ambil di dalam ruang-ruang
tematik.
Setelah berkeliling selama 45 menitan, kami
memutuskan beristirahat sebentar lalu shalat. Museum Kebangkitan Nasional
mempunyai taman yang bersih dan terawat, akan tetapi, kondisi mushola dan
toilet tidak terlalu diperhatikan oleh petugas, terlihat dari toilet yang
kurang bersih dan tidak tersedianya mukena yang memadai untuk pengunjung pada
mushola wanita. Berikut merupakan foto-foto keadaan taman dan mushola.
Kami
melanjutkan untuk berkeliling setelah melaksanakan shalat. Ruangan yang menjadi
sasaran kami selajutnya adalah ruang STOVIA, yaitu ruangan yang menampilkan
peralatan-peralatan kedokteran pada masa itu, seperti alat rontgen, alat
pemecah kepala yang digunakan untuk mempelajari dan memperdalam pengetahuan
mahasiswa/i STOVIA tentang isi kepala manusia terutama otak, elektroradiograf
atau alat pencatat detak jantung, boteka atau tempat untuk menyimpan racikan
obat, dan lain-lain yang akan kami perlihatkan fotonya di bawah ini. Selain
itu, di ruangan ini juga ditampilkan biola dengan alat geseknya milik R.
Maryono.